Perkenalkan namaku Muhammad Bintang Nabilunnuha. Orang-orang biasa memanggilku Bintang. Aku dilahirkan di sebuah kota kecil di sudut Provinsi Jawa Timur. Tempat Presiden Republik Indonesia ke 6, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dilahirkan, yakni Pacitan. Sebuah kota kecil dengan puluhan pantai indah dan menawan. Ayahku bernama Asroni dan Ibuku bernama Sukati. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku bernama Zalfa Alayya Nabila. Gadis kecil itu, kini sudah duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar. Masa kecilku, kuhabiskan di kota kecil ini. Waktu berlalu dengan sangat cepat. Aku merasakan bangku pendidikan untuk pertama kalinya di TK Attarmasie Pondok Tremas pada tahun 2004. Setelah lulus dari taman kanak-kanak, aku melanjutkan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Al-Huda Ploso Pacitan selama 6 tahun dan lulus pada tahun 2012. Selepas lulus bangku sekolah dasar, aku melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Pacitan. Salah satu sekolah menengah pertama yang menjadi buruan anak-anak seusiaku. Memang, SMP Negeri 1 Pacitan merupakan salah satu sekolah menengah pertama terbaik di kotaku. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas, tak perlu lagi diragukan.
Meninggalkan Pacitan dan melanjutkan pendidikan di Kota Kediri merupakan salah satu keputusan yang besar dalam hidupku. Tak pernah terbayangkan sekalipun dalam pikiranku untuk pergi jauh dari Ibu dan Bapakku. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benakku untuk merantau jauh dari kampung halaman. Meninggalkan teman-temanku dan semua hal yang ada di Pacitan. Awalnya Bapakku yang memiliki keinginan agar aku melanjutkan pendidikan di Kota Kediri. Tujuh tahun lamanya beliau hidup di Kota Kediri. Melihat perkembangan pendidikan di Kota ini. Beliau ingin aku mendapatkan pendidikan terbaik dengan bersekolah di Kediri. Awalnya aku tak begitu yakin dengan keinginan Bapakku, namun, berkat dorongan dan motivasi dari kedua orang tuaku, akhirnya aku mantap menjejakkan kaki di Kota Kediri demi menimba ilmu dan meraih impian-impianku.
Masih jelas sekali dalam ingatan, saat aku berpamitan dengan Ibuku, meminta izin dan doa restunya untuk berangkat ke Kediri. Memulai bersekolah di SMA Negeri 1 Kediri dan mungkin akan kembali dalam jangka waktu yang sangat lama. Menginjakkan kaki di tempat yang baru. Semua terasa hampa, asing, dan sangat berbeda. Aku tak memiliki teman sama sekali dan tak biasa dengan lingkungan yang baru. Aku tak menyukai semua itu.
Semua semakin terasa berat saat hari pertama masuk sekolah tiba. Kala itu, aku dan teman-teman satu angkatan menjalani Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPDB). Yang ada dalam pikiranku MOPDB adalah masa-masa menyenangkan dimana kita bergembira bersama mengenal lingkungan sekolah baru. Akan tetapi, semuanya terasa berbanding terbalik 180 derajat dengan apa yang aku bayangkan. MOPDB tidaklah demikian. MOPDB adalah masa-masa dimana mental dan etika kita sebagai siswa yang baru diuji. Bagaimana tidak? Kesalahan sekecil apapun akan membuat kita menerima bentakan dari kakak OSIS. Tiap hari dimarahi oleh kakak OSIS dan diberi tugas yang sangat banyak. Tiap pulang sekolah bukan hanya rasa lelah, tapi bebal dan kesal bercampur aduk menjadi satu. Lima hari yang terasa bagai lima tahun. Jika saja teman-teman satu kelompokku tidak saling menguatkan, aku pasti sudah menyerah saat itu. Namun, MOPDB kini menjadi salah satu kenangan manis yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Lewat MOPDB aku bisa mengenal banyak orang dan mendapatkan banyak teman serta pengalaman baru. MOPDB melatihku untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan meninggalkan semua kebiasaan-kebiasaan buruk saat masih berada di bangku sekolah menengah pertama.
Awal-awal bersekolah di SMA Negeri 1 Kediri, atau yang lebih sering di sebut SMAS’T oleh siswa, guru, dan warga Kota Kediri, aku berusaha untuk bisa berteman dengan banyak orang, agar aku tidak merasa sendiri dan kesepian. Alhasil, aku memutuskan untuk mengikuti sebuah organisasi yang berada di bawah naungan OSIS, yang bergerak di bidang Agama Islam. Yaitu Sie Kerohanian Islam (SKI). Awalnya, aku tak berminat sama sekali untuk ikut SKI, hanya saja pada waktu itu, teman baikku saat MOPDB memutuskan memilih SKI sebagai organisasi yang ia ikuti. Akhirnya, aku juga memutuskan untuk ikut SKI tanpa tahu sedikitpun tentang organisasi ini. Dan, aku rasa keputusanku memang tidak salah. Aku sangat bersyukur dahulu memilih SKI. Banyak sekali pengalaman dan momen-momen berharga yang aku peroleh dari SKI. Dari SKI lah aku belajar bagaimana berorganisasi dan mengurus sebuah acara. Belajar bertanggung jawab atas sukses ataupun gagalnya sebuah acara, baik acara kecil maupun acara yang besar. Belajar bagaimana agar kita bisa membagi waktu dan menyeimbangkan antara urusan organisasi dan tugas belajar kita sebagai seorang murid di sekolah. Semua hal tersebut aku dapat dari SKI. Atas bimbingan pembina, arahan kakak tingkat, serta semangat juang SKI angkatan 18, aku mendapat banyak ilmu berharga. Aku rasa, SKI telah berkontribusi besar dalam masa SMA ku. SKI membuat masa-masa SMA ku menyenangkan dan penuh dengan kenangan indah.
Hidup sendiri di kota ini, bukanlah sebuah perkara yang mudah untuk kujalani. Banyak rintangan dan halangan yang harus aku hadapi sendiri. Hari-hariku di Kediri, terasa amat berat dan sepi. Jauh dari Ibu dan Bapak, yang dulu setiap hari aku jumpai. Tempatku berkeluh kesah dan bercerita tentang segala sesuatu yang aku alami, dari bangun tidur hingga bersiap untuk tidur lagi. Kini, aku harus hidup jauh dengan mereka. Walaupun jarak Pacitan dan Kediri tak sejauh seperti jarak antara Jakarta dan Tokyo. Walaupun teknologi saat ini sudah sangat maju. Tapi tetap saja, mereka terasa sangat jauh dariku. Dulu tak pernah sekalipun, lebih dari satu pekan aku tak berjumpa dengan mereka. Terkadang, aku merindukan hal-hal sepele yang biasa kami lakukan bersama. Seperti sarapan bersama di pagi hari, berpamitan dan mencium tangan kedua orangtuaku saat hendak pergi ke sekolah, bercengkrama dan membicarakan berbagai hal. Sesaat aku merasa segalanya kacau balau. Aku tak bisa fokus pada pelajaran di sekolah. Yang ada di pikiranku hanya pulang. Bertemu kedua orangtua dan sahabat-sahabatku di Pacitan, melepas rindu yang aku pendam dengan mereka semua.
Dulu, sebelum program lima hari sekolah di terapkan di SMAS’T sangat jarang sekali aku punya kesempatan untuk pulang ke Pacitan. Disamping banyaknya tugas dan ulangan, aku juga cukup disibukkan dengan urusan organisasi. Pernah beberapakali aku nekat pulang ke Pacitan karena amat rindu dengan keluargaku. Perjalanan Kediri-Pacitan ditempuh dengan waktu kurang lebih enam jam. Karena perjalanan yang cukup panjang ini, aku hanya bisa beberapa jam saja bisa menikmati waktu di rumah. Setelah itu, aku harus kembali lagi ke Kediri karena harus bersekolah. Aku harus rela menunggu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan hanya untuk bertatap muka secara langsung dengan keluargaku di Pacitan. Sebenarnya, Ibu dan Bapakku sering berkunjung ke Kediri untuk menemuiku jika aku tak dapat pulang karena tidak ada waktu. Di satu sisi aku merasa senang karena bisa bertemu dengan mereka, namun di sisi lain aku juga merasa sedih karena kedua orangtuaku harus rela bersusah payah menempuh perjalanan jauh yang amat melelahkan.
Melewatkan banyak momen-momen berharga tanpa ada keluarga dan sahabat-sahabat disampingku, merupakan salah satu hal yang sangat menyedihkan. Sudah tiga kali Idul Adha aku lewatkan tanpa keluargaku. Saat-saat yang harusnya dilewatkan dengan kehangatan keluarga, tak bisa aku rasakan. Ulang tahun Ibu, Bapak, dan sahabatku juga harus rela aku lewatkan karena jauhnya jarak yang memisahkan kami.
Pernah suatu ketika, aku mencapai titik jenuhku. Sebuah titik dimana aku benar-benar merasa lelah dengan semua keadaan ini dan ingin menyerah. Kala itu, baru saja aku menyelesaikan penilaian akhir semester (PAS), semester ganjil kelas XI. Entah mengapa, aku merasa lelah dengan kehidupanku di Kediri. Kenapa semuanya terasa begitu berat untuk dijalani. Terkadang, aku merasa sendiri tanpa ada satu orangpun di sisiku. Tak ada satupun orang yang bisa mengerti beban yang ada dipundakku saat ini. Ingin rasanya menyerah dan meniggalkan semua yang ada di Kediri. Pulang ke Pacitan, kembali pada zona nyaman. Bahkan, orangtuaku juga sudah lelah menghadapi rengekanku yang selalu ingin pulang. Mereka pasrah bila memang aku sudah tak sanggup melanjutkan pendidikan di Kediri dan ingin pindah ke Pacitan.
Akan tetapi, saat itu aku berpikir lagi. Sudah hampir separuh perjalanan terlewati. Haruskah aku menyerah di tengah jalan yang sudah aku putuskan untuk dilalui ini? Haruskan aku kembali pulang ke Pacitan? Mengubur semua cita-citaku dan semua impian besar kedua orang tuaku? Jawabannya, tidak mungkin! Semua itu tak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Aku tak ingin semua ini sia-sia. Bukan hanya perjuanganku saja, tapi semua keringat, airmata, dan semua pengorbanan yang kedua orang tuaku berikan.
Seringkali orang-orang bertanya kepadaku. Mengapa memilih untuk bersekolah di sini? Mengapa mau repot-repot hidup sendiri dan jauh dari orang tua? Apakah di Pacitan tak ada sekolah yang bagus hingga aku harus jauh-jauh bersekolah di sini? Begitulah pertanyaan orang-orang datang bertubi-tubi kepadaku. Dan, jawabanku hanya satu. Kurasa, aku memang harus menjalani semua ini. Karena menurutku, sudah sepantasnya remaja seusiaku tidak hidup dalam zona nyamannya. Bagaimana kita dapat menjadi pribadi yang lebih tegar dan kuat jika kita tak mau keluar dari zona nyaman? Mungkin kita sering mendengar cerita dari kedua orang tua kita yang harus berjuang mati-matian untuk dapat mencapai sebuah kesuksesan dan keberhasilan. Begitu pula dengan diri kita. Satu hal yang pasti, bahwa semua hal itu memerlukan perjuangan dan pengorbanan. Sukses tidak akan bisa dicapai dengan usaha yang biasa-biasa saja. Dan bersekolah di Kediri serta hidup jauh dari orang tua, mungkin adalah wujud dari perjuangan dan pengorbanan demi meraih semua mimpi dan cita-citaku. Aku percaya, bahwa sebuah proses tidak akan pernah menghianati hasil akhirnya.
Tak pernah sekalipun terlintas dalam pikiranku bahwa semua ini sia-sia. Segala sesuatu pasti terjadi karena sebuah alasan dibaliknya. Aku juga tidak pernah menyalahkan kedua orang tuaku yang mendorongku untuk bersekolah di Kediri. Malu rasanya jika aku mengeluhkan hal tersebut ditengah kondisiku yang lebih dari cukup ini. Perjuanganku tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perjuangan kedua orang tuaku saat berjuang meraih impiannya. Sungguh, kedua orangtuaku adalah sosok yang benar-benar membuatku bertahan dikala rasa putus asa menyapa.
Dengan semua hal yang telah aku lewati, aku rasa, aku sangat kaya. Bukan kaya harta yang aku maksud, akan tetapi kaya akan pengalaman. Baik itu pengalamanku pribadi maupun pengalaman orang-orang yang aku jumpai selama aku di Kediri. Aku berusaha menjadikan semua itu pelajaran. Aku berusaha untuk selalu bersyukur bagaimanapun keadaanku saat ini. Aku tahu bahwa diluar sana masih banyak orang yang berandai-andai memiliki hidup seperti kehidupanku saat ini. Bukankah Tuhan telah berjanji akan menambah nikmat-Nya bila kita senantiasa bersyukur?
Perjalanan yang telah aku mulai ini, harus aku selesaikan. Aku akan berjuang sekuat tenaga yang aku bisa. Walaupun terkadang perjalanan yang aku lalui penuh duri tajam dan tak selalu semulus jalan beraspal. Aku akan berjuang. Tujuanku hanya satu, menjadi orang sukses. Entah apapun itu perguruan tinggi dan perkerjaanku di masa depan nanti, semoga aku bisa menciptakan senyum dan air mata kebahagiaan serta kebanggaan dari Ibu dan Bapakku.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
ReplyDeleteSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^